Sang Legenda Dunia Kopi : KATSUJI DAIBO
Daibo adalah nama yang cukup kuat bagi mereka yang telah mendalami kopi dengan keseriusan. Sekiranya kalian belum pernah mendengar tentangnya, Daibo adalah sesepuh yang bukan hanya dianggap penting dalam tren seduh manual, tapi juga dunia kopi secara keseluruhan. Ia mungkin belum seterkenal Howard Schuldtz, tapi orang-orang yang mengenalnya akan memberi salut panjang bahkan sampai jauh setelahnya. Setidaknya James Freeman dari Blue Bottle dan Matt Goulding dari Roads and Kingdoms telah terang-terangan menunjukkan respek mereka yang mendalam kepada tokoh ini.
Katsuji Daibo mulai
tertarik pada kopi ketika industri kopi sedang jaya-jayanya di Jepang di era
60an. Ia dan teman-teman SMA-nya sering mengunjungi kedai-kedai kopi di sekitar
Tokyo, hal ini kemudian memekarkan gairahnya untuk memelajari tentang kopi dan
industrinya. Ia mulai memelajari teknik mencampurkan berbagai macam single
origin dan menyeduh kopi sebagai hobi sampingan, namun di tahun 1975
Daibo memutuskan untuk membuka Daibo Coffee di distrik Omotesando yang juga
merupakan salah satu distrik cukup sibuk di Tokyo.
Tidak seperti usaha
kedai kopi lain yang mungkin akan segera mementangkan jala bisnisnya
lebar-lebar dengan membuka cabang dimana-mana, Daibo dan kedai kopinya tetap
setia pada satu kissaten yang dibukanya sejak 1975 ini. Di
sinilah letak keistimewaannya dan mengapa ia disebut legenda dalam dunia kopi.
Daibo menyangrai
biji-biji kopinya dengan roaster kecil bergaya tradisional,
takaran yang ia pilih pun hanya secukupnya sehingga memastikan bahwa kopi yang
disimpannya hanya yang benar-benar segar. Setelahnya, biji-biji yang disangrai
tadi akan disebar di atas tampah bambu. Seperti seorang penjaring emas yang
tekun, Daibo pun kemudian akan memilah biji-biji kopi yang masih hangat ini
satu per satu, dengan tangan, untuk memastikan tidak ada biji yang
cacat masuk ke dalam botol penyimpanannya. Ia memilih hanya yang terbaik.
Memilih biji kopi
setelah disangrai hanyalah bagian awal, ada sejumlah proses lainnya mulai dari
menggiling sampai menyeduh yang ia lakukan dengan kesungguhan. Memerhatikan
bagaimana ia menyeduh kopi, sederhana tapi intens dan tak terburu-buru seperti
ritual yang membuat haru.
“Saya ingin membawa
setiap detil dari upacara minum teh ke dunia kopi,” katanya di sebuah artikel.
Pernyataan yang membuat saya akhirnya mengerti. Saya pernah menghadiri upacara
minum teh di Jepang dan kagum melihat betapa rinci dan sakralnya seremoni
itu—padahal cuma sekadar untuk minum teh tok. Dan
mengetahui bahwa Daibo mengadaptasi kesakralan upacara minum teh ala Jepang itu
pada teknik penyeduhan kopi kian memantapkan iman saya untuk mengakuinya
seorang legenda. Tidak heran kenapa ia menyeduh begitu terperinci dan telaten.
Sayangnya, seperti
sebuah istilah yang cukup terkenal, “ada awal pasti ada akhir”, Daibo Coffee
miliknya pun akhirnya berhujung juga. Bangunan yang menaungi kedai kopi
miliknya telah dijual ke pemilik baru yang memiliki rencana ambisius untuk masa
depan. Dan Desember 2013 lalu, ia menutup Daibo Coffee yang telah diusahakannya
berdua bersama istrinya selama 38 tahun, selamanya. Saya penasaran, kenapa
Daibo tidak meneruskannya saja entah ke pewarisnya? Jawaban yang saya temukan
semakin membuat saya semakin menaruh salut saja:
Karena ia tidak
menemukan orang yang memiliki gairah yang sama yang mau mendedikasikan dirinya
terhadap ‘upacara minum kopi’ serinci yang ia lakukan.
0 komentar: