Evani Jesslyn, Wakil Indonesia Di Barista & Farmer 2016
Reality show yang
cukup menjanjikan mengundang barista-barista terbaik dari berbagai negara untuk
bertanding dan melakukan sejumlah proses kopi, mulai dari biji sampai cangkir.
BARISTA & Farmer adalah sebuah pertunjukan bakat Internasional pertama yang
didedikasikan sepenuhnya untuk kopi specialty. Jika
kompetisi-kompetisi kopi dunia lain umumnya hanya melibatkan satu keterampilan
khusus meracik kopi, maka di sini pesertanya wajib menguasai seluruh proses
yang ada dalam perjalanan kopi mulai dari memetik,memproses, menyangrai
sampai akhirnya menyajikannya dalam cangkir-cangkir bernama espresso,
cappuccino, latte dan sebagainya.
Pertunjukan ini pertama
kali diselenggarakan tahun 2013 di Puerto Rico, menyusul Honduras di tahun 2015
dan tahun 2016 ini, Brazil menjadi tuan rumahnya. Wilayah Alta Morgiana di
negara bagian Sao Paulo yang merupakan tempat perusahaan O’Coffee (perusahaan
kopi terbesar di Brazil yang memiliki 6 perkebunan sekaligus salah satu
produsen utama kopi specialty di negara itu) adalah lokasi
spesifik dimana acara ini diselenggarakan selama dua minggu.
Kompetisi Barista
& Farmer yang berada di bawah naungan Specialty Coffee
Association of Europe (SCAE) ini telah melakukan proses seleksi
(sangat) ketat sebelum pada akhirnya menyaring 10 finalis yang akan
bertanding. Dari awalnya 300 kontestan hingga akhirnya mengerucut tinggal 10
finalis, Evani Jesslyn, lulusan Bachelor of Science University
of California Berkeley kelahiran tahun 1990 ini pun terpilih menjadi salah
satunya. Ia bukan hanya menjadi peserta termuda yang berasal dari Indonesia,
namun juga sekaligus satu-satunya wakil dari Asia.
Maka menarik sekali
melihat fakta-fakta ini. Bukan hanya karena ia adalah wakil dari
Indonesia tok, tapi juga karena ia adalah perempuan yang
terjun sepenuhnya tanpa sungkan-sungkan ke industri yang umumnya didominasi
oleh laki-laki. Simak wawancara dengan roaster, cupper, brewer dan
pemilik Strada Coffee di Semarang ini.
PERTANYAAN :
Hi, Ev. Mohon koreksi jika salah, di
Indonesia, Barista & Farmer setahu saya barangkali belum setenar
kompetisi kopi lainnya. Boleh ceritakan sedikit tentang reality show ini dari kacamata Evani sebagai
pesertanya?
JAWABAN :
Ini adalah reality
show yang bertujuan untuk memberikan edukasi kepada para finalis,
mulai dari cara petik yang benar, processing, cupping, roasting sampai brewing.
Di reality show ini pun ada proses karantina dimana kehidupan
dan kegiatan pesertanya dinilai secara menyeluruh. Ada penilaian karakteristik
dan kepribadian. Proses karantina itu akhirnya akan menampilkan karakter asli
dari peserta itu sendiri, para barista tidak bisa menyembunyikan personality asli
mereka. Dari situ juga bisa tercermin bagaimana seorang barista itu
sesungguhnya.
PERTANYAAN :
Dari seluruh rangkaian
kegiatan yang dikompetisikan di Barista & Farmer, mana bagian yang kira-kira paling sulit bagi Evani? Kenapa?
JAWABAN :
Bagian paling sulit
adalah ketika saya harus berjuang melawan diri saya sendiri. Di kompetisi itu,
saya harus berhadapan dengan barista champion dari seluruh
dunia. Saya sempat merasa nggak pede, tapi saya bersyukur
bahwa para finalis di kompetisi itu ternyata adalah orang-orang yang fair. Apalagi
ditambah para mentor yang luar biasa, akhirnya saya berhasil untuk keluar dari
cangkang ketakutan saya. Dari situ saya merasa mulai bisa melakukan semuanya
dengan baik.
PERTANYAAN :
Selama di kompetisi
tersebut, siapa partisipan yang menjadi kompetitor terberat
JAWABAN :
Semua kompetitor
memiliki kelebihannya masing-masing, saya tidak bisa bilang siapa yang paling
berat.
PERTANYAAN :
Di sana Evani juga
bukan hanya menjadi wakil dari Indonesia tapi juga satu-satunya kontestan dari
Asia. Bagaimana ceritanya hingga kamu bisa sampai pada pencapaian seperti
sekarang?
JAWABAN :
Saya dulu sekolah di UC
Berkeley lalu bekerja di Deloitte sebagai auditor—yang pekerjaannya
sangat sibuk. Kerja dari jam 9 pagi, pulang paling cepat jam 7 malam. Pulang
jam 11, sudah biasa. Pernah selama 3 hari berturut-turut saya pulang jam 2
pagi. Karena bekerja di Deloitte, saya berada di satu ruangan dengan
teman-teman auditor lain yang juga menyukai kopi. Saya yang dulunya sama sekali tidak suka
kopi, mau nggak mau, akhirnya kepo juga. Pas
saya cobain, kok ternyata enak. Dari situ mulai suka coba-coba kopi
ketika di Amerika.
Sejak dari situ, saya
mulai suka pergi ke beberapa coffee shop. Hampir semua kedai kopi
di Amerika bilang kalau mereka pakai kopi Indonesia atau ada campuran kopi
Indonesia. Saya mikir, “Oh, hebat juga ya produk Indonesia, memang apik sampai
diakui di Amerika”.
Ketika pulang ke
Semarang pertama kali, saya mencoba kopi-kopi di Semarang. Tapi kok nggak ada
yang seperti di Amerika? Padahal saya kan sudah di Indonesia,
di negara penghasil kopi. Dari situ saya mulai berpikir, apakah karena cara
membuatnya yang berbeda sehingga hasilnya nggak bagus? Makanya
saya kemudian mengambil Sekolah Barista di Singapura. Di sekolah barista di SG
itu, mereka juga pakai 100% kopi Mandheling dan rasanya menakjubkan. Sejak di
sana saya pede bahwa jika sekali lagi pulang ke Indo, pasti
bisa buat kopi sendiri yang wenak tenan. Tapi kenyataannya,
dengan skill yang sama, dengan origin Mandheling
yang sama—yang saya dapat di pasar lokal, rasanya tetap tidak sama. Kenapa? Kok
bisa beda? Saya gemas.
Saya percaya akan
kualitas kopi-kopi dalam negeri, dari Sabang sampai Merauke. Kalau kualitas
kopi-kopi tersebut tidak bagus, nggak mungkin negara-negara
luar yang besar itu begitu mencintai kopi Indonesia. Nah, masalahnya adalah
bagaimana cara menemukan kopi terbaik dari negeri kita sendiri. Sementara
kopi-kopi yang beredar di Indonesia itu sangat jarang yang memiliki kualitas
bagus, terutama yang bisa digolongkan sebagai specialty coffee.
Demi mencari green
bean berkualitas baik, saya mendatangi beberapa perkebunan dan bertemu
dengan beberapa petani di Pulau Sumatera. Dari sanalah saya belajar mengenai
kopi mulai dari proses penanaman sampai panen sekaligus praktek bertani kopi (fun
banget!).
Lalu saya semakin mendalami
dunia kopi dengan banyak membaca dan melakukan riset online, juga
pergi ke kebun-kebun kopi di Sumatera. Dari sana jugalah saya tahu soal grade-grade kopi
dan kemana saja distribusinya. Sejak itu pula saya mulai
berdedikasi bahwa, “oke, saya mau beli langsung dari petaninya sehingga bisa
betul-betul tahu kualitas biji yang mereka olah. Tahu filosofi di masing-masing
biji kopi yang saya ambil.”
Nah kalau sudah
memutuskan maunya hanya mengambil green bean atau biji mentah,
otomatis saya harus bisa roasting sendiri juga dong. Karena
itu saya mengambil Roasting Classdi San Francisco.
Dengan perpaduan
antara biji terbaik dari negara penghasil kopi yang juga berkualitas terbaik,
ditambah teknologi yang dihasilkan oleh negara-negara maju, saya percaya saya
bisa ‘mengabdi’ kepada negara ini dengan memberikan kopi hasil bumi Indonesia
kepada masyarakat Indonesia sendiri. Pada akhirnya saya harap itu bisa
menumbuhkan rasa cinta produk dalam negeri bagi masyarakat Indonesia.
Tak berhenti sampai
kelas roasting, setelah itu pula saya mengambil sertifikasi Q-Grader dari
SCAA di Amerika. Suatu saat ketika saya
di Seattle membantu di booth Indonesia untuk mempromosikan
kopi lokal, ada seseorang datang ke booth, nanya-nanya. Oleh
seseorang itu saya diajak ke suatu booth yang sedang
diadakan casting untuk acara Barista & Farmer.
Dari proses casting itu kemudian berlanjut lagi ke proses
audisi di April 2015. Di bulan Oktober, ada pengumuman bahwa saya masuk menjadi
1 dari 25 finalis dari seluruh dunia.
Kemudian saya diminta
membuat video cv untuk diseleksi lagi menjadi 10 besar, yang
saya kemudian masuk menjadi salah satunya. Menjadi satu-satunya orang Asia,
sejujurnya agak grogi juga. Apalagi kontestan lain ada yang menjadi juara
barista di negara masing-masing.
Pertama-tama saya
mengikuti kontesnya, agak grogi juga karena diajarkan menjadi petani. Harus
memetik cherry yang benar dan ternyata nggak mudah.
Proses karantinanya sendiri berlangsung selama 14 hari.
Sebelum ke Brazil,
saya membuatkan satu booklet untuk mempromosikan Indonesia dan
kopinya. Saya juga membawa kopi-kopi Indonesia. Mereka sangat senang menerima
hadiah tersebut. Waktu itu saya membawa 18 packs kopi, tadinya
mereka seperti agak males mencoba kopi Indonesia. Tapi peduli
amat, saya tetap buka dan brew. Hanya 3 hari,
ke-18 packs kopi itu sudah habis. Mereka bilang ternyata
kopi-kopi Indonesia sangat menakjubkan.
Dari acara itu pula
saya belajar bahwa tugas petani itu tidak mudah. Untuk menghasilkan secangkir
kopi yang baik, dibutuhkan usaha luar biasa mulai dari proses penanaman,
pemetikan, proses pasca panen, roasting dan brewing.
Kita harus bisa
menghargai secangkir kopi yang ada di depan kita, karena tanpa kerja keras
orang-orang di dunia kopi, maka tidak akan ada namanya kopi nikmat yang bisa
memanjakan lidah kita.
PERTANYAAN :
Saya setuju. Terakhir,
setelah memiliki kedai kopi, kira-kira apalagi cita-cita Evani selanjutnya?
Apakah ada niat untuk mengikuti kejuaraan kopi dunia lainnya?
JAWABAN:
Saya justru ingin
mempelajari lebih dalam tentang sains dalam dunia kopi. Kebetulan memang saya
sangat suka dengan hal-hal berbau sains yang bisa diaplikasikan di dalam
hidup. So, let’s see what’s next. I’ll keep it as a surprise.
0 komentar: